You are currently browsing the tag archive for the ‘pengungsi’ tag.

Tidak pernah  terbayang untuk harus pergi dari rumah tercinta. Tapi inilah yang terjadi.

5 November 2010 dinihari.

Jam 12 malam kami terbangun oleh getaran gempa Merapi. Kaca jendela bergetar, perabot kayu berderak. Kami tunggu hingga sekitar  20  menit. Dentuman Merapi di utara makin hebat, getaran gempa juga makin hebat. Cukup sudah. Kami putuskan untuk kabur. Lari turun gunung. Jarak rumah kami dengan Merapi hanya sekitar 20km. Sehari sebelumnya luncuran awan panas sudah sampai radius 15km. Ibu saya sudah lebih dulu saya ungsikan ke rumah Paman, karena  beliau dalam kondisi pengobatan kanker.

Sampai di tempat pengungsian, alias kios laundry kami, segera kami mencari berita dari televisi. Benar juga, segera setelah letusan itu, secara resmi diumumkan bahwa zona aman sudah berada diluar 20km. Ya Allah lindungi kami.

5 November 2010 pagi.

Anak-anak saya titipkan di rumah paman. Saya dan suami mengambil barang-barang di rumah. Rumah kami sudah penuh abu dan pasir  vulkanik.  Saya menengok  kucing kami yg terpaksa ditinggalkan. Mereka masih baik-baik saja. Saya hanya mengambil beberapa keperluan penting saja. Kembali ke rumah paman, mandi dan bersiap ke kantor. Ada beberapa tugas menunggu.

5 November 2010 malam.

Kami kembali ke rumah, untuk menengok rumah dan kucing-kucing. Mereka sehat, tapi lapar. Saya beri mereka sedikit makanan untuk bertahan sampai besok. Suasana sepi sunyi senyap. Semua tetangga sudah mengungsi. Hanya suara gemuruh Merapi yang terdengar. Kami bergegas, takut terjadi letusan tiba-tiba. Sepanjang jalan juga sepi tidak ada kegiatan. Baru setelah sekitar 3km dari rumah saya, daerah zona aman, mulai nampak ada kehidupan.

6 November 2010

Pagi ini suasana lebih segar karena semalam hujan. Menghapus abu vulkanik dan membersihkan debu-debu yang beterbangan di kota Jogja. Merapi juga nampak  tenang, ada berita terjadi letusan pagi ini, tapi dampaknya tidak sehebat kemarin.

Saya fokus ke kios laundry, karena ditinggalkan pegawai kami, jadi urusan melayani pelanggan, kami layani sendiri sementara sampai mereka kembali bekerja.

Kembali ke rumah, begitu niat kami hari ini. Dalam pikiran kami tidak ada niat untuk pergi terlalu lama dari rumah. Jadi kami bersiap bersih-bersih rumah. Tapi ketika kembali ke rumah, suasana masih sepi, tetangga masih mengungsi, air PAM masih mati sehingga menyulitkan kami untuk bersih-bersih. Saya tidak tahu kenapa air PAM mati sejak kemarin, tapi mungkin sumber airnya kena lahar dingin merapi. Jadi kesimpulannya, air PAM tidak akan mengalir lagi. Kalaupun mengalir, pasti butuh perbaikan yang sangat lama.  Merapi tenang, tidak ada suara gemuruh, tapi kami tidak yakin Merapi selesai menyemburkan isi perutnya. Belum ada jaminan resmi dari pihak yang berwenang.

Saya sempat syok menyadari bahwa kondisi ini pasti akan lebih lama daripada yang kita duga. Kita tidak tahu sampai kapan Merapi akan marah. Saya baru sadar, mengungsi itu tidak semudah yang di omong orang. Memang betul safety first, itu slogannya pejabat-pejabat begitu. Orang lain juga berteriak-teriak yang sama, semua teman, saudara, kenalan, semua berkata hal yang sama, mengungsilah.  Tapi ketika benar-benar menjadi pengungsi, saya baru “ngeh” bahwa efek psikologis pengungsi itu ada. Trauma, depresi, confuse, kehilangan, home sick, hal-hal seperti inilah yang melanda para pengungsi. Jadi wajar saja jika mereka “hang”, tidak bisa berpikir apapun. Hingga terkadang nekat kembali ke rumah untuk mengambil barang atau peliharaan. Karena otak kita sudah terpatri rutinitas setiap hari yang biasa kita kerjakan, begitu semua hilang, jadi bingung, mau mengerjakan apa. Perlu penyesuaian sampai akhirnya menyadari bahwa semua sudah berbeda. Seperti yang saya alami.

Baca entri selengkapnya »

Myself


Bending the rules

Kategori

Join sebagai subscriber dengan input email ke sini

Bergabung dengan 1.301 pelanggan lain